Sunday, September 6, 2015

Kisah Pedagang Ayam Sukses yang Pernah Tidur di Kolong Jembatan


Kisah Pedagang Ayam Sukses yang Pernah Tidur di Kolong Jembatan

Minggu, 6 September 2015 14:30

TRIBUN KALTIM/JUNISAH

Nurbayah dan suaminya berpose dengan simbol kesuksesannya sebagai pedagang ayam potong di Kota Tarakan. 

TRIBUNKALTIM.CO, TARAKAN - Hari masih gelap, waktu masih menunjukkan pukul 02.00 Wita dini hari.

Nurbayah sudah harus bangun dan bergegas. Ketiga anaknya yang masih tertidur pun diboyongnya serta. Bersama suaminya, Arifin, Nurbayah harus mendorong gerobak ke Pasar Batu, Tarakan, untuk menjajakan pisang.

Uang modal Rp 35.000 yang ia dapat dari hasil meminjam saudara harus diputar cepat, agar bisa menghasilkan laba untuk memberi makan anak-anaknya. Agar hidup bisa terus bertahan, pisang-pisang di gerobak harus terjual.

Dengan kesabaran, semangat, dan kerja keras pisang-pisang yang dijajakan selalu habis terjual. Tiap hari, lepas Maghrib, mereka baru kembali ke rumah. Rumah orangtua Nurbayah, karena mereka belum mampu memiliki rumah sendiri, yang tak jauh dari Pasar Batu.

Tak jarang Nurbayah dan ketiga buah hatinya harus tidur di kolong jembatan yang ada di Pasar Lingkas. Bahkan, anak-anaknya pun kerap tertidur di pasar.

"Bapak sampai bikin ayunan di pasar, agar anak-anak bisa tetap tidur," kata Nurbayah

Tapi itu dulu. Kini kerja kerasnya membuahkan hasil. Peribahasa berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian, sangat cocok untuk kehidupan Nurbayah dan Arifin ini. Bisnis suami-istri yang kini menjadi pengusaha ayam potong ini pun melejit pesat.

Semakin hari usaha pisang Nurbayah laris manis sampai akhirnya Nurbayah mencoba menjual berbagai buah-buahan. Tanpa diduga usaha buah-buahanya juga laris manis. Dengan usaha laris manis inilah ia mendapatkan keuntungan rupiah demi rupiah yang dikumpulkannya dan akhirnya berhasil memiliki sebuah kios di Pasar Beringin, Tarakan.

"Ya Alhamdulillah dari awal tahun 1981 mencoba jualan pisang dari modal Rp 35 ribu pinjam keluarga, lantas terus hingga saat ini," kata Nurbayah.

Usaha yang semakin laris, tidak membuat ia bersama suami lupa diri untuk mengumpulkan uang niat naik haji.Tahun 1996 keinginanNurbayah naik haji akhirnya terkabul.

"Alhamdulillah saya bisa naik haji dari hasil usaha pisang ini," kata Nurbayah.

Selama berada di tanah suci inilah, Nurbayahberdoa kepada Allah SWT, agar usaha jual pisangnya dapat sukses dan dapat berangkat haji bersama suaminya. Doa yang dipanjatkanNurbayah dikabulkan, sampai akhirnya ia bersama suaminya berangkat haji di tahun 2005.

Pulang dari haji, Nurbayah dan suami memutuskan untuk tidak lagi berjualan pisang, karena tenaganya sudah tidak mampu, karena faktor usia yang sudah tua. Saat memutuskan tidak berjualan lagi inilah ada seorang temannya mengajak untuk berjualan ayam potong.


Dengan ajakan temannya di tahun 2006 Nurbayah dan suami memutuskan berjualan ayam potong di Pasar Gusher, Tarakan.

Ia pun membeli ruko di Pasar Gusher untuk berjualan ayam potong. Usaha ayam potongnya ini juga laris manis, dan memiliki banyak pelanggan. Bahkan dalam sehari bisa memotong 200 hingga 300 ekor perhari.

"Tergantung dari pesanan, kalau banyak pesanan yah bisa sampai 350 ekor lebih per hari," ujarnya.

Dari hasil jualan pisang dan ayam, Nurbayah dan Arifin, tidak hanya dapat berangkat haji tapi juga memiliki rumah kontrakan, rumah kos-kosan 33 pintu, rumah pribadi serta dapat menyekolahkan anak-anaknya sampai sarjana.

Mulai dari anak pertama sarjana hukum kini jadi pengacara, anak kedua sarjana teknik, anak ketiga meninggal dunia, anak keempat pedagang ayam mengikuti jejak kedua orangtuanya, kelima dan keenam masih kuliah.

"Meskipun kedua anak saya sudah menjadi sarjana, tapi mereka juga berdua itu mengikuti jejak saya dan suami untuk berjualan ayam potong. Kini ketiga anak saya semua berjualan ayam potong di pasar," ujarnya tersenyum.


Nurbayah mengaku, semua keberhasilannya ini tidak terlepas dari kejujuran ia bersama suaminya selama berjualan.

"Kejujuran itu nomor satu, kalau kita tidak jujur hidup kita akan sulit. Sebab saya sudah melihat ada orang yang berjualan tidak jujur sampai saat ini hidupnya tidak ada peningkatan yah begitu-begitu saja," ucapnya. (*)

Saturday, September 5, 2015

Kisah Penjual Pecel yang Kini Mampu Beli BMW

Kisah Penjual Pecel yang Kini Mampu Beli BMW

By Achmad Dwi Afriyadi on 05 Sep 2015 at 19:30 WIB

Liputan6.com, Surabaya - Walikota Surabaya Tri Rismaharinimengungkapkan, pemberdayaan ekonomi melalui program 'Pahlawan Ekonomi' telah membuahkan hasil. Program Pahlawan Ekonomi sendiri telah berjalan 5 tahun yakni tahun 2010.

Risma menerangkan dalam program 'Pahlawan Ekonomi', masyarakat yang bergelut di UKM diberi pelatihan mengenai produksi, menjaga kulitas, hingga tahap pemasaran. Alhasil, program tersebut membawa kesuksesan karena seorang pengusaha pecel semanggi kini mampu membeli mobil.

"Ibu ini (Aminah) ketemu saya, cerita sekarang bisa beli mobil, jadi semanggi seperti pecel tapi jual online. Terima pesanan jam 12 malam pun dilayani," kata dia di acara Program Pelatihan Kewirausahaan (PPK) Sampoerna di Surabaya, Sabtu (5/9/2015).

Menurut Risma, cara berjualan Aminah terbilang unik. Jika pedagang pecel semanggi di wilayah Surabaya biasa pakai keranjang, cara jualan Aminah telah maju karena memanfaatkan jasa online.

"Kalau dulu digendong sekarang pakai online, kenapa ibu saya jadikan contoh karena jualannya aneh," tambahnya.

Tak hanya telah menghasilkan mobil, Aminah kini mampu mengansuransikan pendidikan untuk kedua anaknya.

"Ternyata luar biasa, dia sangat mengerti tentang asuransi, mengerti kredit, sangat mengerti putra putri diasuransikan. Sekarang ibu yang sebelumnya bukan siapa-siapa naiknya mobil," jelas dia.

Aminah yakni pemilik UKM Bina Makmur melayani permintaan untuk semanggi, lontong balap, lontong kikil, tahu campur, gado-gado dan lainnya. Aminah menuturkan, dari usaha tersebut kini mampu membeli dua mobil.

"Mobilnya yang satu BMW, saya mau ambil Avanza. Alhamdulilah jadi pahlawan ekonomi, anak saya dua-duanya ikut asuransi pendidikan dan kesehatan," tandas dia. (Amd/Ndw)

The Dark Side Of Coffee: An Unequal Social And Environmental Exchange

The Dark Side Of Coffee: An Unequal Social And Environmental Exchange

September 1, 2015 | by Alexander J Myers

photo credit: Not all is good on the ‘technified’ coffee farm. mckaysavage/flickr, CC BY-SA

Share on facebook339 Share on twitter4 Share on reddit Share on google_plusone_share More Sharing Services

The humble coffee bean is one of the most important and actively traded commodities in the world. It doesn’t take more than a glance at American coffee consumption stats to understand why.

In a 2015 Gallup poll, 64% of Americans reported drinking at least one cup of coffee per day and 2.7 on average. The United States imports about 2.8 billion pounds of green coffee every year, and Americans consume just over nine pounds of coffee per capita annually.

If you’re anything like me, your morning coffee is a necessity, so early in my graduate career I decided to do a little research on it. I found a fascinating and somewhat disturbing story encompassing ecology, economics, globalization and finance – one that all coffee drinkers should know about.

Out With Shade-Grown

Beginning in the 1970s, many Latin American coffee farmers began to convert their farms to what is called “technified” production systems. In response to disease outbreaks in Brazil during the early ‘70s, large growers began to search for new, heartier coffee varietals.

Encouraged by local and national governments – along with development aid agencies like USAID – many of these farmers began to cut down the trees that create the canopy under which coffee has traditionally been grown and plant in their place varietals specially bred to grow in full sun. Those selected were heartier and more resistant to disease and pests – and were also less affected by theapplication of chemical fungicides.

As demand for coffee has grown, coffee growers have moved to large-scale operations and beans that can grow in full sun, which means less biodiversity and poorer soil. ken_mayer/flickrCC BY

By the end of the 1990s, sun or reduced-shade cultivation systems accounted for almost 70% of Colombia’s land area devoted to coffee and 40% of Costa Rica’s.

These technified plots can be up to five times more productive than shade systems, but also come with significant environmental consequences. Shade coffee farms have proven to harbor some of the highest levels of biodiversity, particularly for insects and migratory birds, among all agro-ecosystems (those whose products are used for human consumption).

Furthermore, a recent study found that, from seed to mug, each cup of coffee uses about 140 liters of “virtual water,” which takes into account water used for irrigation, processing and shipping, as well as for consumption. This figure is significantly higher for coffee grown in full-sun versus that grown under shade cover.

Since it’s grown out of the more balanced ecosystem of the shaded grove, technified coffee requires much higher levels of chemical pesticides to combat pests. And since technified plants produce so much more coffee and don’t have the benefit of using recycled plant matter, farmers need to apply more fertilizer to make up for the loss of soil nutrients from year to year. The application of these chemicals can have detrimental long-term effects on a region’s biodiversity and soil health.

Unequal Exchange

At its core, technification applies the industrial-agricultural model to coffee production, and in many ways it has intensified exploitative relationships between coffee consumers in the global North and coffee producers in the global South – what are colloquially called “first-world” and “third-world” countries, respectively.

Social scientists have been studying these lopsided North-South dynamics for well over a century, but the topic has recently been recast with a distinctly “green” bent.

Environmental economists and sociologists have developed the concept of ecologically unequal exchange, which holds that developed countries externalize a significant portion of their “ecological footprint” to developing ones. Put more simply, industrialized countries use the ecological carrying capacity of periphery countries to offset the environmental impact of their own consumption.

How long are consumers willing to pay for more expensive shade-grown or equal exchange coffee? Giulia Mulè/flickrCC BY-NC-ND

Large statistical studies have confirmed this. Sociologist James Rice found that, among lower- and lower-middle-income countries, those with higher proportions of trade export to Northern countries had lower domestic resource consumption net of other factors.

Similarly, his colleague Andrew Jorgenson’s studyconfirms these results, while also adding an interesting finding: that the relationships between Northern importers and Southern exporters became more unequal from 1975 to 2000. More than one-third of the countries in Jorgenson’s sample were major coffee exporters, including production giants like Colombia and Brazil and other important players such as Costa Rica, Kenya, Vietnam and Mexico that obtain a significant portion of GDP from coffee export revenues.

Another recent study by sociologist Kelly Austin found that, even after controlling for overall agricultural export-dependence, a country’s reliance on coffee exports as a significant share of gross domestic product (GDP) “produces unique and especially harmful patterns [of] deforestation, hunger and schooling in poor nations in comparison to other forms of agricultural production.”

Placing coffee at the center of highly unequal trade relationships between North and South, these studies show that commodity coffee production is rife with multiple forms of socioecological exploitation.

Better Way?

Several movements have sprung up to address many of these inequities by raising awareness and offering a more equitable alternative.

Fair trade certification provides economic stability for farmers by providing them a base price for their coffee, requiring unionization or cooperative business structures and encouraging them to adopt more sustainable farming practices. A newer movement, direct trade, has buyers send representatives directly to coffee farms to observe their practices and develop long-term trading relationships.

Both of these tend to return more money to producers and provide them incentives to help lessen their coffee’s impact. Yet both depend on consumer demand and center around the willingness (and ability) of affluent Westerners to pay higher prices for their coffee. This demand can dry up quickly, leaving producers with lots of high-quality, expensive coffee that no one wants.

Longer-lasting change will need to come from international agreements and local economic and political changes in the coffee lands themselves. But for now these alternative-trading systems are a step in the right direction to address the socioecological exploitation plaguing the industry today.

Alexander J Myers is Graduate Research Assistant, PhD Program at University of Kansas

This article was originally published on The Conversation. Read the original article.

'Kota Hantu' Bernilai Miliaran Rupiah Tak Dihuni Manusia

'Kota Hantu' Bernilai Miliaran Rupiah Tak Dihuni Manusia

By Indy Keningar on 06 Sep 2015 at 08:00 WIB

Liputan6.com, New Mexico - Jika dilihat sekilas, foto pemandangan kota dari atas ini seperti ilusi. Namun ini adalah kota sungguhan yang dibangun di tengah-tengah gurun.

Menghabiskan biaya US$ 1,4 miliar (Rp 199 triliun) untuk pembangunannya, kota ini memiliki 35 ribu rumah, pusat perbelanjaan, pencakar langit, gereja, bandar udara, dan berbagai infrastruktur kota lainnya.

Area 38 kilometer kubik ini juga meliputi pertanian, wilayah industri, sistem jalan raya, dan jalan layang. Namun yang mengherankan, tidak ada yang diperbolehkan tinggal di dalamnya. Mengapa?

Selamat datang di Center for Innovation, Testing, and Evaluation (CITE), sebuah ‘kota hantu’ di New Mexico, AS. Menurut perusahaan pengembangan Pegasus Global Holdings, kota yang disebut City Lab ini merupakan simulasi kota, di mana tes terkait aktivitas perkotaan akan dilakukan.

“City Lab akan dipasangi sistem elektronik untuk tujuan pengumpulan data. Nantinya, ilmuwan akan mampu mendapatkan simulasi skenario sistem dan mendapat data dari aktivitas.”

Berbagai barang akan dikirim ke kota menggunakan drone, dan jalan-jalan akan dipenuhi mobil dan truk tanpa pengendara.

Kelebihan dari kota tanpa penumpang adalah, jika terjadi kesalahan, tidak ada kecelakaan yang melibatkan korban manusia.

Cetak tata kota dalam bentuk tiga dimensi

"Ini akan menjadi laboratorium tanpa komplikasi dan masalah keamanan yang melibatkan warga," ungkap Bob Brumley, direktur pelaksana Pegasus dikutipNews.com.au.

“Di sini, Anda bisa merusak barang-barang, dan menabrak apapun dengan kendaraan, untuk mencari tahu lebih lanjut kualitas dan ketahanan suatu produk, sebelum memasarkannya.”

Hanya ada 300 orang yang bisa mengamati pengalaman dan menjaga infrastruktur kota.

CITE, yang menjadi representasi komplek perumahan perkotaan AS merupakan replika Rock Hill, Carolina Selatan. Alasan kota tersebut menjadi model adalah sistem bangunannya yang merupakan gabungan material bangunan lama dan baru.

Walau begitu, proyek itu sempat mengalami kemunduran. Pembangunan sudah dijadwalkan mulai pada Juni 2012, namun karena alasan lingkungan, proyek tersebut ditunda. (Ikr/Rcy)

Friday, September 4, 2015

Fahri Bela Setya Novanto dan Fadli Zon soal Hadiri Kampanye Trump

Fahri Bela Setya Novanto dan Fadli Zon soal Hadiri Kampanye Trump

Jumat, 04 September 2015 | 13:50

Jakarta - Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, membela koleganya sesama pimpinan DPR RI, Setya Novanto dan Fadli Zon, yang tertangkap kamera berpelesir ke kampanye Capres Amerika Serikat (AS) Donald Trump di sela kunjungan resmi ke markas PBB di AS.

"Saya duga itu spontan saja. Kan lagi pengantar musim kampanye. Sebagai proses nonton kampanye di sana, tak masalah," kata Fahri Hamzah, Jumat (4/9).

Fahri mengaku belum mendapat laporan resmi soal aktivitas Setya dan Fadli di AS. Namun yang jelas, ada pertemuan para pimpinan parlemen dunia di AS, dan keduanya hadir di sana dalam rangka itu.

Selain itu, ada juga rencana bertemu Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) AS. Itu sebabnya, wajah Ketua BURT DPR RI yang belakangan moncer akibat pemberitaan soal Gedung baru DPR, Roem Kono, juga terlihat di gambar video televisi.

"Memang ada rencana DPR dan Kongres AS untuk kerja sama meningkatkan kapasitas DPR. Saya mau beri tahu juga kongres ASsuprise dengan perkembangan legislatif di Indonesia," kata dia.

Sebelumnya, Ketua DPR RI Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon tertangkap kamera sedang mengikuti dan berada di jajaran depan peserta kampanye capres AS dari Partai Republik, Donald Trump. Hal itupun langsung mengundang kontroversi di Indonesia, khususnya di media sosial.

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon (ketiga dari kanan) hadir saat calon presiden Amerika Serikat Donald Trump mengadakan konferensi pers di Manhattan, 3 September 2015. AFP

Di kalangan parlemen, protes keras mulai bermunculan dari sesama anggota DPR RI. Anggota Komisi Pertahanan dan Hubungan Internasional Charles Honoris menilai baik Setya Novanto dan Fadli Zon sudah bisa dianggap melanggar etika DPR RI karena hadir di acara kampanye calon presiden warga negara lain. Menurut Charles, baik Setya maupun Fadli bersikap ngawur dengan kehadiran di sana. Keduanya juga dianggap melanggar etika anggota dewan.

Markus Junianto Sihaloho/FMB

Beritasatu.com

Thursday, September 3, 2015

Kini Tiket Kereta Api Hanya Rp70 Ribu

Tiket kereta api hanya Rp70 ribu (Foto: Youtube)

TravelSelasa, 1 September 2015 - 07:00 wib

Kini Tiket Kereta Api Hanya Rp70 Ribu

Dewi Kania - Okezone

BEPERGIAN ke wilayah Indonesia terus dipermudah termasuk penggunaan jasa Kereta Api. Kini membeli tiket kereta api hanyalah Rp70 ribu.

Harga tiket kereta api Rp70 ribu ini merupakan promosi yang dilakukan PT Kereta Api Indonesia dalam rangka ulang tahun Kereta Api Indonesia ke-70 tahun

PT. Kereta Api Indonesia mengatakan bila harga Rp70 ribu bisa dilakukan oleh traveller mulai tanggal 7 September 2015 tepat pukul 00.00 WIB.

"Pemesanan tiket kereta api bisa dilakukan tanggal 7 September 2015 dan keberangkatan hanya dari tanggal 7 sampai 28 september 2015 saja," jelas Devi, Costumer Service PT Kereta Api Indonesia kepada Okezone, Selasa (1/9/2015).

Menurutnya, harga tiket Rp70 ribu berlaku untuk seluruh tujuan di Indonesia yang dilalui PT. Kereta Api Indonesia. "Untuk rutenya kemana saja, dan harga Rp70 ribu adalah rute untuk sekali jalan," paparnya.

Besaran tiket yang diberikan oleh PT. Kereta Api Indonesia adalah sebesar 70 ribu tiket. Bahkan, ketika traveller ingin mengubah tanggal keberangkatan juga bisa dilakukan.

"Setiap pemberangkatan tidak dikasih berapa kursi bergantung dari ketersediaan kursi," tutupnya.

(jjs)